Rabu, 01 Mei 2019

Singkong, Makanan Orang Kaya, Kenapa Indonesia Impor?


Di masa lalu, sebagian dari kita menganggap singkong sebagai makanan yang kurang bergengsi dan selalu melekat pada kehidupan orang miskin, mungkin sudah saatnya pemikiran itu direvisi. Karena singkong yang kita makan sebenarnya adalah makanan mahal dan bergengsi. Karena sebagian besar singkong yang kita konsumsi berasal dari luar negeri.

Dengan kata lain, makanan impor tidak hanya untuk konsumsi orang kaya. Karena bakso, cilok, cimol, atau bahkan apa saja yang kita beli di pinggir jalan, dapat berasal dari tepung singkong impor. Atau keripik singkong dalam kemasan yang kita konsumsi saat menonton televisi, bisa juga berasal dari singkong impor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah singkong impor berupa keripik kering mencapai 308 ton pada 2018 kemarin. Memang, jumlahnya terlihat tidak berbahaya, masih kecil.

Tetapi jika kita melihat polanya dalam 10 tahun terakhir, jumlah impor telah mengalami tren meningkat. Rata-rata impor singkong untuk periode 2014-2018 mencapai 4.070 ton / tahun, jauh lebih besar dari periode rata-rata 2009-2013 yang hanya 3.064 ton / tahun.

Selain dalam bentuk keripik padat, singkong impor juga datang dalam bentuk buah singkong. Sebagai informasi, pati singkong adalah bahan dasar untuk membuat tepung tapioka, atau biasa juga disebut pati. Tepung yang kita konsumsi ini telah banyak digunakan oleh sebagian masyarakat Indonesia untuk membuat berbagai makanan seperti cilok, cimol, seblak, dan bakso.

Menariknya, jumlah pati singkong impor jauh lebih besar dari singkong dalam bentuk buah padat.

Pada tahun 2018, BPS mencatat bahwa 375.590 ton tepung singkong senilai US $ 185,6 juta masuk ke Indonesia sebagai barang impor. Sementara jumlah ekspor pada periode yang sama jauh lebih kecil, hanya 8.090 ton atau senilai US $ 5,28 juta. Ini berarti perbandingan impor pati sawit mencapai 45 kali lipat dari ekspornya.

Seperti halnya singkong padat, tren impor pati singkong juga meningkat dalam 10 tahun terakhir. Rata-rata impor pati singkong pada periode 2014-2018 mencapai 470.436 ton / tahun, meningkat dari 335.015 ton / tahun pada periode 2009-2013.

Meningkatnya kebutuhan impor buah singkong merupakan dampak produksi dalam negeri yang terus menurun sejak 2014. Berdasarkan buku 'Statistik Pertanian 2018' yang dirilis oleh Kementerian Pertanian (Kementerian Pertanian), pada 2018 produksi singkong hanya mencapai 19,05 juta ton. Sedangkan pada 2014 Indonesia masih bisa menghasilkan 23,4 juta ton singkong.

Ini tidak terlepas dari luas lahan panen singkong yang juga terus menurun. Pada tahun 2018, luas panen singkong hanya 793 ribu hektar, yang telah berkurang secara signifikan dari 2014, yang masih 1 juta hektar.

Melihat fakta-fakta ini, jangan heran jika ketergantungan pada singkong impor terus berlanjut. Bahkan bertambah. Thailand adalah negara asal utama singkong impor untuk masuk ke Indonesia. Pada 2018, Thailand berhasil memasukkan 349,27 ribu ton singkong senilai US $ 173,2 juta. Vietnam juga tercatat telah memasukkan singkong di Indonesia, tetapi dengan jumlah yang relatif kecil, hanya 25,9 ribu ton pada 2018. Nilainya juga hanya US $ 12,1 juta. Selain itu ada juga singkong impor dari Australia, Myanmar, Malaysia dan Amerika Serikat (AS) tetapi dalam jumlah yang sangat kecil.

Kinerja produksi singkong harus menjadi bahan evaluasi serius menjelang akhir pemerintahan Presiden era Jokowi. Ada Kementerian Pertanian dan para menterinya yang harus bertanggung jawab atas ketidakmampuan negara ini dalam meningkatkan produksi singkong domestik.

Kita harus malu, karena kesuburan tanah Indonesia tidak lagi seperti dalam lagu Koes Plus, yaitu "tongkat kayu dan batu menjadi tanaman".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar