Jumat, 26 April 2019

Begini Pentingnya Ekonomi Syariah di Indonesia Dalam Menghadapi Pasar Global


Ekonomi Islam atau ekonomi syariah dalam perkembangan dunia Islam adalah salah satu periode peradaban Islam yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sejak zaman Nabi hingga saat ini pedomannya adalah hidup dalam kegiatan ekonomi berdasarkan Alquran dan Al-Hadits.

Kemajuan dunia Islam dimulai pada abad ketujuh Masehi. Zaman keemasan umat Islam adalah sekitar 600 tahun atau 7 abad. Pada abad ini ilmu islam berkembang sangat pesat. Kemajuan ini dimotivasi oleh perjuangan tanpa henti oleh Nabi, Khulafaur Rashidin, dan beberapa dinasti.

Sejak zaman kuno umat Islam sudah mulai suka berdagang dan mereka tinggal di Yaman dan Suriah karena pada saat itu ada dua negara superior yaitu Roma dan Persia (Yaya et al, 2014). Pada waktu itu sudah ada sistem keuangan dan ekonomi yang berpusat di Baitul Mal yang diketuai oleh Rasullulah.

Perbedaan paling mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi kapitalis adalah dimensi spiritualnya. Sesuai dengan firman Allah dalam (QS Taha: 6) berbunyi bahwa "Dia milik semua di langit, semua yang ada di bumi, semua di antara keduanya dan semua yang ada di bawah tanah".

Karena itu, semuanya didasarkan pada paradigma spiritual untuk mencapai kehidupan sejahtera. Selain itu, ekonomi Islam juga memiliki empat prinsip dalam resep operasionalnya, yaitu: (1) Khalifah, (2) Tazkiyah, (3) Mausuliyah, dan (4) Ukhuwah. Berbeda dengan sistem kapitalis, yaitu membunuh atau dibunuh, artinya seseorang atau kelompok hanya mementingkan kepentingan kelompok atau individu masing-masing demi memenuhi kebutuhannya.

Jadi dinamika ekonomi Islam adalah alat untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Ini dibuktikan dengan firman Allah SWT dalam QS Hud Ayat 6.

Selanjutnya, perkembangan ekonomi Islam terus menunjukkan eksistensinya, terutama di lembaga keuangan seperti perbankan, asuransi, pasar modal, dana pensiun, dan sebagainya.

Menurut Nurhayati dan Wasilah (2008) volume dan nilai ekonomi syariah telah meningkat dalam tiga dekade terakhir. Ini menunjukkan perubahan positif bagi perkembangan ekonomi Islam. Selain itu, Nurhayati dan Wasilah (2008) berpendapat bahwa pembangunan ekonomi syariah disebabkan oleh sejumlah besar bank yang menggunakan sistem Syariah, yang dilanjutkan oleh sektor lain. Lembaga keuangan syariah pertama adalah Mit Ghamr di Mesir pada tahun 1963, yang merupakan lembaga keuangan syariah dengan sistem operasional sederhana berdasarkan nilai-nilai Islam.

Berlawanan dengan latar belakang kesuksesan Mit Ghamr yang mendorong para sarjana, ilmuwan, dan masyarakat Muslim untuk meningkatkan sistem ekonomi Islam yang telah meredup begitu lama.

Pada Desember 1973 sebuah lembaga keuangan Islam internasional didirikan di Jeddah berdasarkan deklarasi menteri keuangan negara-negara Muslim yang bergabung dengan Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Dalam periode waktu yang tidak terlalu lama mulai muncul lembaga untuk melindungi ekonomi Islam termasuk Organisasi Akuntansi dan Audit untuk Lembaga Keuangan Islam (AAOIFI), Pasar Keuangan Islam Internasional (IIFM), dan Dewan Layanan Keuangan Islam (IFSB).

Keberadaan lembaga keuangan Islam diharapkan menjadi tolak ukur kemajuan ekonomi umat Islam. Oleh karena itu, negara-negara dan komunitas non-Muslim juga mulai tertarik dengan sistem ekonomi Islam, misalnya Islamic Finance House Universal Holdings di Luksemburg, Islamic Finance House di Inggris, penerbitan sukuk oleh Singapura, Wisata Halal di Thailand dan Korea, Makanan Halal Produk di Australia dan sebagainya.

Berdekatan dengan perkembangan ekonomi Islam secara global pada tahun 1992 Indonesia memiliki lembaga keuangan syariah pertama, yakni Bank Muamalat Indonesia. Ini adalah strategi pemerintah untuk berperan dalam pengembangan ekonomi Islam di seluruh dunia, termasuk dalam Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Meski begitu, Indonesia dianggap terlalu terlambat dalam membuat keputusan untuk mendirikan BMI karena Filipina pertama kali mendirikan Bank Perwalian pada tahun 1973 setelah Bank Islam di Malaysia pada tahun 1983. Oleh karena itu, perkembangan ekonomi Islam Indonesia stagnan pada 4 persen yang mulai meningkat sebesar 6, 79 persen pada 2017.

Peluang untuk pangsa pasar ekonomi syariah sangat potensial sehingga beberapa bank konvensional memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) dalam membuat perusahaan mereka yang kompetitif yang akhirnya memutuskan spin off atau pemisahan menjadi Bank Umum Syariah (BUS) misalnya Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNIS).

Namun, asumsi publik tentang bank syariah belum sepenuhnya diyakini menggunakan prinsip syariah. Bahkan berdasarkan survei kecil, Muhammad Akhyar Adnan, anggota Dewan Pengawas Badan Manajemen Keuangan Haji (BPKH), mengatakan bahwa sekitar 70 persen orang menganggap sistem operasional persis sama dengan perbankan konvensional.

Ini sangat ironis karena Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia, tetapi partisipasi publiknya dalam perbankan Islam tidak ada. Oleh karena itu, pemerintah kepresidenan Susiolo Bambang Yudoyono (SBY) pada tahun 2013 membentuk Gerakan Ekonomi Syariah (Gress) dan Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2016 membentuk Komite Keuangan Islam Nasional (KNKS) yang melibatkan beberapa kementerian seperti Menteri Koordinator untuk Urusan Ekonomi, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Menteri Agama dan melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sayangnya kedua lembaga ini hanya ide dan tidak ada tindakan nyata. Selain itu, keduanya didirikan tepat ketika mendekati periode pemilihan umum. Dikhawatirkan rencana pembangunan ekonomi Islam hanyalah alat politik untuk mempertahankan eksistensinya. Di sisi lain pemerintah juga harus mengambil keuntungan dari potensi pengembangan ekonomi Islam.

Jumlah dana publik di Indonesia seperti zakat, wakaf, infaq, dan shadaqoh jika digunakan secara bijak dapat menjadi sumber infrastruktur dan manajemen lainnya bagi pemerintah. Berdasarkan data dari Kepala Divisi Manajemen & Pemberdayaan Badan Wakaf Indonesia (BWI) pengumpul wakaf di Indonesia adalah Rp 400 miliar dan diproyeksikan mencapai 180 triliun.

Selain itu, pada 2016 Badan Zakat Nasional (Baznas) mencatat bahwa pemasukan dana zakat mencapai 5 triliun. Ini diproyeksikan akan meningkat beberapa kali lipat sebesar 217 triliun. Akselerasi pengumpulan dana publik dikaitkan dengan keberadaan teknologi informasi sebagai alat-alat inovasinya.

Karena itu, pemerintah harus mengoptimalkan kebajikan ini dalam pembangunan ekonomi daripada harus terus berutang uang kepada bank dunia dan negara lain.

Hal terakhir lainnya adalah pemerintah harus melakukan integrasi dalam upaya mengembangkan ekonomi Islam. Salah satunya tidak hanya fokus pada sektor keuangan di pasar modal, tetapi sektor riil juga harus diperhatikan karena sektor riil memiliki potensi dalam pengembangan ekonomi Islam.

Sebagai contoh, perbankan syariah harus meninjau peraturan dalam distribusi dana melalui produk yang ditawarkan. Dalam murabahah portofolio pembiayaan bank syariah adalah porsi yang paling akrab dan besar, meskipun mudharabah hanya sekitar 5 persen, sedangkan mudharabah adalah produk yang bisa mendapatkan porsi keuntungan yang lebih baik.

Hal ini disebabkan banyaknya potensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang kekurangan modal, tetapi bank syariah tidak berani menyalurkan dana mereka. Akibatnya, sejumlah lembaga keuangan virtual atau fisik lahir yang bertanggung jawab untuk membiayainya, misalnya dalam skema crowdfunding, inovasi dari Financial Techonlogy (Fintech).

Lebih jauh, MUI dan menteri agama harus mensosialisasikan dan mendidik generasi muda bahwa mereka sebenarnya memiliki peluang tinggi untuk menjadi aktor dalam ekonomi Islam. Misalnya profesi sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) di lembaga keuangan syariah. Ini karena DPS terpaksa berasal dari orang-orang yang tidak muda lagi dan kemungkinan latar belakang pendidikannya terbatas pada muamalah fiqh saja.

Padahal seorang DPS harus memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu audinting, akuntansi, dan fiqh muamalah. Selain itu, satu orang DPS dapat bekerja lebih dari satu lembaga keuangan, sehingga kinerja di lembaga keuangan tidak akan maksimal. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan ekonomi Islam harus memiliki kerjasama dari berbagai sektor sehingga Indonesia menjadi negara yang diperhitungkan di pasar global.

1 komentar: