Selasa, 30 April 2019

Impor Beras, Petani Tercekik, Seharusnya Pemerintah Menggaji Petani


Pertama-tama saya tidak ingin menjadi orang sombong, bahwa saya adalah orang kota. Maksud saya, saya lahir di sebuah kota dan sejak kecil tinggal di kota. Meskipun itu adalah kota kecil tetapi masih sebuah kota, karena dekat dengan alun-alun. Akses mudah ke mana-mana. Ingin pergi ke pasar, pergi ke sekolah, pergi ke rumah sakit, pergi ke apotek, semuanya dekat, bisa dicapai dengan berjalan kaki. Dan akhirnya saya menikah. Ternyata belahan jiwaku tinggal di desa. Jauh dari keramaian kota. Untuk pergi ke desa istri saya, saya harus melewati dua sawah yang cukup luas. Jalannya seperti Kali Asat (sungai yang tidak memiliki air). Dan jika malam itu jelas gelap gulita, tidak ada lampu jalan, hanya mengandalkan lampu kendaraan, atau senter, atau bulan dan bintang.

Sebenarnya sangat nyaman tinggal di desa. Suasananya tenang. Udara bersih, airnya segar dan berlimpah. Bagi orang kota, tinggal di desa dalam beberapa hari adalah sebentuk emosi yang menyegarkan. Seperti warga Jakarta yang gemar bepergian ke Puncak saat akhir pekan tiba. Tetapi jika terlalu lama bisa membuat stres. Karena tidak banyak kegiatan yang dilakukan selain bersantai.

Saat ini, saya bekerja di kota. Dan istri saya tinggal di desa untuk sementara waktu, karena dia baru saja melahirkan anak pertamanya, dan dia berkata bahwa ia lebih nyaman tinggal bersama orang tuanya sampai bayinya cukup besar untuk dibawa ke kota tempat kami tinggal. Itulah yang membuat saya harus mengunjungi istri saya di desa setidaknya sekali setiap dua minggu.

Sesaat, sambil bersantai dengan ayah mertua saya saat menonton program berita di TV, acara yang muncul pada saat itu adalah tentang impor beras yang akhirnya merugikan petani.

Ayah mertua saya adalah seorang petani di desa, ia berkomentar katanya di sini anak muda malas menjadi petani, ya itu sering menyakitkan, mereka lebih suka di gaji, tentu saja ada banyak anak muda yang tertarik menjadi petani, dan orang-orang yang duduk di parlemen harus memiliki gaji yang lebih rendah, sehingga tidak banyak orang yang stres karena mereka gagal mendapatkan pekerjaan..

Itu sedikit masalah orang desa, dalam hal ini petani yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah. Bayangkan saja, betapa sulitnya bekerja sebagai petani di sawah. Terutama yang masih bekerja secara tradisional. Harus mencangkul di bawah terik matahari, bahkan tak jarang banyak orang tua yang menjadi bengkok karena bekerja keras di ladang.

Meskipun bukan sekolah menengah, pertanian juga harus menggunakan ilmu pengetahuan, kapan menanam, kapan panen, pupuk apa yang harus digunakan, jenis tanah apa yang cocok untuk ditanam, dan sebagainya. Jadi menurut saya itu salah jika petani dianggap layak untuk mendapatkan penghasilan yang biasa-biasa saja hanya karena mereka tidak memiliki pendidikan tinggi.

Di Indonesia, menurut saya, petani adalah orang yang sangat berperan dalam ketersediaan pangan. Karena mayoritas masyarakat Indonesia masih menggunakan beras sebagai makanan pokok mereka. Jika Anda tidak makan nasi, Anda tidak bisa memakannya, meskipun sudah selesai dengan tiga mangkuk bubur ayam.

Saya sebenarnya sedih dengan kenyataan bahwa Indonesia, dijuluki negara pertanian, yang wilayahnya luas dan subur di bidang pertanian, terutama beras, masih mengimpor beras dalam jumlah besar. Meskipun seribu satu alasan digunakan sebagai dasar untuk mengimpor beras, saya, sebagai orang awam, masih belum dapat menerimanya. Padahal, kita, sebagai bangsa yang hebat, harus bisa mengekspor beras ke daerah-daerah yang memang sulit menanam padi, misalnya di Timur Tengah.

Teman saya yang pernah belajar di Timur Tengah juga bercerita tentang pengalamannya, bahwa orang-orang di sana (Timur Tengah) hanya makan nasi ketika pesta tiba, karena harga beras di sana cukup mahal, karena stok yang terbatas. Jadi orang Timur Tengah menganggap orang Indonesia sebagai orang kaya, karena setiap hari mereka bisa makan nasi. Meskipun rumor ini belum tentu demikian.

Terkait dengan tema utama yang telah ditentukan, yaitu "Kembalikan Pertanian Indonesia: Prestasi dan Tantangan", Apa prestasi yang telah dicapai? Saya jarang menemukan kabar baik tentang dunia pertanian. Yang sering saya temukan adalah: pemerintah impor beras besar-besaran, petani gagal panen, orang makan raskin, harga beras di tingkat petani rendah, dan lain-lain. Apakah karena slogan "Berita Buruk adalah Berita Baik" yang membuat banyak berita negatif berseliweran di media cetak dan elektronik? Hanya di acara laptop, Unyil dan lainnya yang menunjukkan harapan dan kebanggaan besar di bidang pertanian.

Tetapi jika tantangan menuju pertanian Indonesia maju, tentu saja  sangat banyak. Mulai dari pengembangan teknologi, peningkatan infrastruktur pertanian, peningkatan ekspor di sektor pangan, hingga regenerasi petani. Dan khusus untuk regenerasi petani, saya pikir memang harus regenerasi dalam bentuk manusia, bukan robot. Karena menurut saya, sesuatu akan kehilangan "perasaan" jika tidak ada "sentuhan / sentuhan" dari manusia.

Dan kembali ke judul di atas, jika para petani (dan beberapa profesi yang merupakan akar budaya Indonesia, seperti nelayan, dll) dibayar tinggi oleh Pemerintah (di gaji), apakah ada perubahan signifikan dalam nasib ekonomi bangsa ini?

1 komentar: