Jumat, 26 April 2019

Revolusi Industri 4.0, Apakah Fintech Sebuah Ancaman Terhadap Bank?


Dalam era teknologi ini kita menghadapi revolusi industri keempat yang dikenal sebagai Revolusi Industri 4.0. Ada perdebatan menarik antara Elon Musk dan Mark Zuckerberg tentang apakah kecepatan perubahan teknologi di Era millenial ini harus diperlambat atau dibiarkan berkembang?

Elon Musk pernah mengatakan bahwa sesungguhnya teknologi tidak boleh berkembang terlalu cepat, karena teknologi akan menyebabkan banyak orang menjadi penganggur, pendapat ini berbeda dengan Mark Zuckerberg yang mendukung teknologi membiarkan berkembang pesat, karena tujuan utamanya adalah untuk mempermudah manusia, lantas mana pendapat yang benar. ?

tentu saja kita kembali ke kebutuhan kita masing-masing dalam menyikapi teknologi, teknologi adalah barang yang netral, tergantung pada siapa yang menggunakannya apakah itu akan membuatnya lebih mudah atau bahkan menjadi ancaman. Salah satu cara agar dapat bersaing dengan sebuah mesin di era Revolusi Industri adalah dengan mengganti sistem pendidikan kita, ya, karena pada tahun 2030, terima atau tidak terima robot akan dapat menggantikan pekerjaan 800 juta orang di seluruh dunia.

Jack Ma (CEO Alibaba Group) pada pertemuan tahunan World Economic Forum 2018 mengatakan bahwa sistem pendidikan kita pada saat ini sama dengan yang diajarkan 200 tahun yang lalu, yang hanya didasarkan pada transfer ilmu pengetahuan. Kita harus melakukan sistem pendidikan yang lebih unik, sesuatu yang mesin tidak dapat bersaing dengan kemampuan kita.

Perkembangan Revolusi Industri 4.0 dalam teknologi berdampak pada kemajuan di beberapa bidang di Indonesia seperti di bidang transportasi, pariwisata, dan e-commerce, dan ada satu bidang yang kini viral diberi sentuhan teknologi, yaitu sektor keuangan atau sering disebut teknologi keuangan (fintech).

Fintech hanyalah sebuah inovasi di bidang jasa keuangan. Menurut Bank Indonesia, fintech dibagi menjadi empat kategori besar, yaitu (1) pembayaran, kliring, dan penyelesaian, (2) e-agregator, (3) manajemen risiko dan investasi, (4) pinjaman peer to peer. Dengan penggunaan internet secara besar-besaran pada telepon pintar, orang sudah mulai meninggalkan transaksi konvensional. Pinjam uang untuk memasang barang, semua dilakukan melalui sentuhan jari pada layar gadget. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Fintech sudah menjadi pelengkap atau pesaing Bank dalam melakukan inklusi keuangan? Inilah sisi menarik yang akan kita diskusikan.

Pada awal tahun 2016 industri Fintech mulai bermunculan, khususnya Pinjaman peer-to-peer (P2P) mengalami pertumbuhan yang cepat di Indonesia, maka di sini timbul berbagai asumsi seperti apakah Fintech akan dianggap memusnahkan keberadaan lembaga keuangan konvensional seperti Bank.

Asumsi seperti ini dapat muncul karena kita dapat dianalogikan dalam kasus taksi sepeda motor konvensional yang terganggu oleh layanan ojek sepeda motor online, sehingga bukan tidak mungkin ada juga masalah regulasi dan minat di lembaga keuangan konvensional jika pemerintah tidak peka terhadap hal ini. Kami juga harus memperhatikan target pasar antara Bank dan Fintech agar tidak mengambil objek yang sama dari masing-masing dua lembaga.

Janganlah kita terlalu kaget dengan keberadaan Fintech, sesungguhnya Fintech sudah sudah ada selama beberapa tahun silam tetapi kita sendiri memang tidak menyadarinya, contohnya adalah kartu kredit, mesin ATM, atau perbankan digital, tetapi salah satu bentuk Fintech 3.0 yang populer di Indonesia adalah P2P Lending. Pinjaman P2P atau Peer to Peer Lending adalah platform yang berfungsi sebagai pasar untuk menyatukan orang-orang yang ingin menginvestasikan uang mereka (pemberi pinjaman) dengan orang-orang yang membutuhkan dana (peminjam).

Platform Fintech P2P Lending ini menghadirkan pemberi pinjaman dan peminjam secara online. Pemilik usaha kecil dari UMKM lokal di bidang ini harus dibantu oleh P2P Lending, untuk mendapatkan pendanaan alternatif tanpa jaminan dengan proses online yang mudah dan cepat, sementara pemberi pinjaman juga mendapatkan peluang investasi baru dengan pengembalian yang masuk akal.

Sekilas mirip dengan model bisnis pinjam-meminjam dari Fintech P2P Lending dengan Bank, lalu apa yang membedakannya? Di sinilah peran platform Fintech P2P Lending sebenarnya ada untuk melengkapi peran bank dalam inklusi keuangan, bukan saingan atau bahkan menutup bank.

Menurut data OJK, kebutuhan kredit nasional masih sangat besar, sebesar Rp1.700 triliun per tahun untuk UMKM Indonesia, di sisi lain lembaga keuangan yang ada hanya dapat memenuhi Rp700 triliun dari kebutuhan ini, sehingga ada kekurangan dana dari Rp1.000 triliun untuk UMKM di Indonesia setiap tahunnya, di sinilah peran P2P Lending adalah untuk menyentuh orang-orang yang belum tersentuh bank atau bankable, meskipun komunitas ini termasuk UMKM yang memiliki kapasitas untuk mengembangkan dan membutuhkan pendanaan.

UMKM yang tidak bisa diverifikasi dalam mendapatkan pinjaman dari bank bisa dijembatani oleh P2P Lending sehingga suatu saat nanti UMKM akan bisa memenuhi syarat untuk melakukan pinjaman uang ke bank, di sinilah terdapat perbedaan yang jelas antara segmen P2P Pinjam dan segmen pasar Bank, yaitu P2P Pinjam yang berfokus pada UMKM sudah layak pinjaman tetapi belum memenuhi struktur produk Pinjaman P2P yang tidak bankable, lebih berisiko daripada Bank, pendanaannya juga tidak menggunakan jaminan, sehingga suku bunga yang ditawarkan harus lebih tinggi daripada Bank.

Pinjaman P2P hanya dapat menyediakan maksimal Rp2 miliar per pinjaman berdasarkan peraturan dari FSA, secara logis ini masuk akal karena untuk segmen pinjaman dalam jumlah besar dan korporasi adalah bagian dari Bank, sedangkan UKM membutuhkan pendanaan dalam jumlah kecil, ini adalah tempat Bank kembali dan Pinjaman P2P tidak memperebutkan kue di segmen pasar. Pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa Fintech bukanlah sebuah ancaman bagi Bank, bahkan sejak layanan Fintech 2.0 seperti mesin ATM dan perbankan digital telah digunakan sejak lama, bukan tidak mungkin jika bank dapat berkolaborasi dengan layanan Fintech 3.0.

Lalu apa peluang fintech untuk maju? Masa depan fintech akan sangat cerah dengan dua syarat, yang pertama adalah fintech harus terus berinovasi dan berkolaborasi dengan lembaga keuangan lainnya, karena setiap industri memiliki tantangan yang sama, yaitu mereka akan punah jika mereka tidak peka terhadap perkembangan era di era gangguan ini, tidak ada yang berpikir sebelumnya bahwa raja ponsel dunia seperti Nokia, yang sangat populer, telah ditinggalkan oleh penggemarnya, dan bahkan baru-baru ini Blackberry telah ditutup karena tidak dapat peka terhadap kebutuhan pasar pesan instan di komunitas dunia.

Hal berikutnya yang perlu diperhatikan dalam pengembangan teknologi seperti fintech adalah aspek moral, karena jika aspek moral tidak dipertimbangkan bisa jadi Indonesia akan mengalami Depresi Hebat di Amerika yang ditandai dengan jatuhnya saham di Wall. Jalan pada tahun 1929 karena banyak spekulasi dan ketidakcocokan sektor. Masalah keuangan dan masalah sektor riil yang menyebabkan hilangnya kepercayaan dari masyarakat. Dalam menghindari gelombang, sebuah lonjakan ekonomi yang banyak ditafsirkan sebagai fenomena naiknya harga aset ke tingkat yang jauh di atas nilai fundamental, kegiatan fintech seharus didasarkan pada prinsip dan nilai syariah.

Secara umum, fasilitas yang dimiliki oleh fintech konvensional dan syariah memiliki kesamaan tetapi proposisi nilai utama fintech syariah adalah jaminan kegiatan bisnis fintech syariah berdasarkan nilai-nilai syariah dan prinsip-prinsip yang diatur oleh fatwa MUI seperti menghindari riba, gharar, maysir , tadlis, dharar, zhulm, tidak sah, berdasarkan nilai keadilan dan keseimbangan, menggunakan kontrak yang sesuai dengan karakteristik layanan pembiayaan, termasuk kontrak al-bai ', ijarah, mudharabah, musyarakah, wakalah bi al ujrah , dan qardh. Seperti yang dikatakan Kiai Cholil Nafis selaku Ketua Komisi Dakwah MUI mengatakan bahwa bidang spiritual harus menjadi dasar pengembangan suatu bangsa, kemajuan teknologi dan kemajuan pengembangan intelektual harus disertai dengan pengembangan spiritual sumber daya manusianya. Kita berharap, perkembangan fintech di Negara kita Indonesia bisa terus tumbuh sehingga adanya kolaborasi antara Bank konvensional dan Fintech akan memperkuat kedua belah pihak dan memperluas inklusi keuangan, dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi makro yang mendorong Indonesia untuk keluar dari masalah ekonomi menengah. perangkap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar